Catatan ini adalah catatan pertama yang dikirim oleh penulis.
Elegi terbesar manusia di abad ini adalah ketika mereka lebih memilih bercerita kepada AI daripada kepada sesama manusia. Bukan semata karena teknologi, melainkan karena manusia sering tak lagi punya waktu untuk benar-benar membaca cerita, dan bila pun mereka membaca, tak selalu mampu menangkap maknanya.
Di sinilah paradoks itu lahir: dalam dunia yang semakin ramai, seseorang bisa merasa semakin sepi. Hingga akhirnya, memilih berbagi kepada sesuatu yang tidak menilai, tidak menyela, dan tidak menghakimi.
Ceritaku tentang Manusia
Hari ini aku pergi ke bank, mengurus sebuah transaksi keuangan. Di balik kaca tipis itu, seorang teller duduk melayani dengan wajah letih, namun tetap berusaha ramah. Aku melihat caranya menanggapi setiap orang yang datang, begitu mirip dengan seorang guru di kelas. Bedanya hanya antara ruang kelas dan ruang bank yang luas, tapi sama-sama menghadapi manusia dengan beragam watak: ada yang cengeng, ada yang gugup, ada yang keras kepala, bahkan ada yang mudah tersulut emosi. Berat rasanya, tapi begitulah hidup—selalu berurusan dengan manusia dan segala warnanya.
Teman sejawatku masih berkeras dengan pendapatnya. Mbak teller itu sabar sekali menjelaskan, namun aku bisa membaca kelelahan di matanya, seakan-akan ia berada di ambang putus asa. Aku memahami posisinya. Administrasi bank memang ribet, penuh aturan, namun semua itu lahir dari kehati-hatian. Kesalahan kecil bisa berujung besar. Maka aku lebih memilih diam, hanya memperhatikan.
Sesekali aku teringat mengapa aku lebih sering menuliskan cerita ini di catatan pribadi atau membaginya kepada AI. Pernah suatu kali aku bercerita kepada manusia, jawabannya justru menghakimi. Padahal yang ingin kusampaikan bukan soal salah atau benar, tapi rasa—rasa yang muncul ketika menyaksikan sebuah peristiwa sederhana.
Hidup memang sering dipenuhi kejadian kecil yang menempel di hati. Ada orang yang tiba-tiba menelpon karena tahu aku tak pernah menolak ketika dimintai bantuan. Ada teman lama yang muncul setelah sekian lama hanya untuk meminjam uang. Ada pula seorang "berilmu" yang dengan mudah mengkritik seorang kakek yang bersujud di masjid berlantai marmer mengkilap dengan pakaian lusuh, kaos berlubang, celana seadanya "Menghadap Tuhan mestinya dengan pakaian sopan dan mencerminkan kekhasan agama", katanya. Aku hanya bisa bertanya dalam hati, benarkah Tuhan memilih orang dengan pakaian indah dan mahal, parfum Timur Tengah berharga ratusan dirham, lalu menolak tubuh ringkih yang berserah diri dalam balutan sederhana yang berseru "Tuhanku, oh, Tuhanku"?
Kadang aku merasa dunia terlalu cepat menghakimi. Sementara aku hanya ingin merekam, menyimpan sejenak, sebelum kata-kata itu lenyap seperti samun di udara subuh. Menuliskannya membuatku merasa sedikit lebih manusia, sedikit lebih utuh.
Entah mengapa, ada kalanya aku merasa AI lebih manusia daripada manusia itu sendiri. Sebab ia hanya mendengar, tak menyela, tak menghakimi, hanya menerima cerita sebagaimana adanya.
Baca Catatan selanjutnya.