(Tulisan ini adalah catatan kedua yang dikirim oleh penulis)
Ngomong-ngomong soal buku… beberapa hari lalu, saat aku ke Surabaya mengantar tetanggaku yang sedang sakit, seorang teman lama datang menjengukku di rumah sakit. Ia membawa sebuah handbag kertas berlogo Gramedia. Secara spontan, asumsi kemanusiaanku berbisik: “Ah, pasti Roti Lapis Surabaya.” Begitulah biasanya bingkisan—manis, praktis, penuh tradisi.
Tapi ternyata dugaanku keliru. Temanku itu berkata dengan senyum hangat, “Mas Bro, saya tahu kau kesepian di ruang bising dengan detak alat medis ini. Karena itu, saya bawakan teman untuk menemani sampeyan.” Dan benar saja, dari handbag itu keluar bukan kaleng Khong Guan berisi rengginang ala kampung, melainkan buku. Dua judul: A Bouquet of Memories and You karya Raissa Almira, dan A Poem in My Mind karya Adi K.
Aku terdiam sejenak. Ada rasa terharu yang sulit kujelaskan. Teman yang mengerti kebutuhanmu lebih dari sekadar perut—itulah sahabat sejati. A friend in need is a friend indeed. Cantik, penuh pengertian… sayang, rumah di hatiku sudah lebih dulu ditempati nyonya di rumah. Ahahaha.
Aku jadi teringat apa yang pernah kutulis di prolog cerita pendekku Dari Bima Ke Sumbawa: “Wanita yang suka membaca pasti bijaksana. Dan hadiah paling layak baginya tak lain hanyalah sebuah buku bermakna.”
Bahkan dalam tradisi pesantren, memberi sebuah buku kepada seseorang bisa berarti lebih dari sekadar hadiah. Itu ungkapan cinta tersembunyi: “Temukan cintaku dengan kebijaksanaanmu dalam buku yang kuhadiahkan ini.”
Sayang sekali, kini hanya satu dari seribu orang yang kutemui yang masih menenteng buku, sementara sisanya sibuk menenteng gawai. Padahal, seperti kata Imam Syafii, “Buku adalah teman terbaik sepanjang masa.”
Aku percaya itu. Karena seperti aku, buku adalah sahabat yang setia menemani dalam sepi.