Menggugat Narasi Sejarah: Pahlawan Perempuan Indonesia yang Terlupakan

2

 Sejarah Indonesia dipenuhi oleh kisah-kisah heroik yang membentuk identitas bangsa. Namun, ketika kita menelusuri jejak para pahlawan perempuan, kita menemukan bahwa tidak semua nama mendapat tempat yang layak dalam ingatan kolektif. Nama Raden Ajeng Kartini memang dikenal luas dan diperingati setiap tahun dalam Hari Kartini. Tapi bagaimana dengan Cut Nyak Dien, Rasuna Said, Fatmawati Soekarno, atau Laksamana Malahayati? Apakah mereka tidak layak mendapat penghormatan serupa?

Kartini memang luar biasa. Gagasan-gagasannya tentang pendidikan dan emansipasi perempuan, yang dituangkan dalam surat-suratnya dan kemudian dibukukan sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang, menjadi fondasi penting bagi gerakan perempuan di Indonesia. Namun, Kartini bukan satu-satunya, dan bukan pula yang pertama.

Sebelum Kartini lahir, Laksamana Malahayati telah memimpin armada laut Kesultanan Aceh dan mengalahkan armada Portugis. Cut Nyak Dien dan Cut Meutia memimpin perlawanan bersenjata melawan Belanda di Aceh. Martha Christina Tiahahu dari Maluku berjuang bersama ayahnya di usia belia. Nyi Ageng Serang memimpin pasukan dalam Perang Diponegoro. Mereka bukan hanya simbol keberanian, tapi juga bukti bahwa perempuan Indonesia telah lama berdiri di garis depan perjuangan.

Rasuna Said, yang dijuluki “Singa Betina dari Sumatra,” adalah orator dan aktivis politik yang berani mengkritik kolonialisme dan memperjuangkan kesetaraan gender. Ia bukan hanya pejuang di medan ide, tapi juga di medan hukum, dijatuhi hukuman oleh pemerintah kolonial karena pidatonya yang tajam. Ia adalah pembawa semangat (Carmic), sementara Kartini menjadi simbol yang diangkat (Carmic Cause). Ironisnya, hanya Kartini yang diperingati secara nasional.

Fatmawati Soekarno menjahit Bendera Pusaka Merah Putih yang dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan. Kontribusinya sangat simbolik dan monumental, namun sering kali direduksi sebagai “istri presiden.” Marie Thomas, dokter perempuan pertama di Indonesia, membuka jalan bagi perempuan di dunia medis, namun namanya jarang disebut dalam narasi heroik bangsa.

Mengapa hanya Kartini yang diperingati? Jawabannya mungkin terletak pada politik narasi. Kartini dianggap “aman” secara ideologis, cocok dengan citra perempuan ideal versi negara, terutama di era Orde Baru. Ia berasal dari Jawa, dekat dengan pusat kekuasaan, dan gagasannya bisa dikemas sebagai perjuangan pendidikan yang tidak terlalu mengganggu struktur patriarki. Sementara tokoh-tokoh lain, yang lebih radikal, militan, atau berasal dari daerah yang kurang terwakili, tidak mendapat sorotan yang sama.

Sejarah, seperti yang sering dikatakan,

"Sejarah adalah versi peristiwa masa lalu yang telah disepakati untuk diingat." - Napoleon Bonaparte 

Tapi sejarah juga bisa ditulis ulang oleh mereka yang berani bertanya, menggali, dan menolak untuk melupakan. Sudah saatnya kita memperluas narasi nasional, memberi ruang bagi pahlawan perempuan yang selama ini terpinggirkan. Bukan untuk menggantikan Kartini, tapi untuk melengkapi kisah perjuangan perempuan Indonesia yang jauh lebih kaya dan beragam. Kita hidup di era di mana narasi bisa ditantang, dilengkapi, bahkan ditulis ulang. Kita bisa memilih untuk tidak hanya mengenang, tapi juga mengangkat kembali nama-nama yang selama ini terpinggirkan. Kita bisa menyusun ulang sejarah—bukan untuk menghapus yang lama, tapi untuk memberi ruang bagi yang terlupakan.

Karena bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghormati pahlawannya, tapi juga bangsa yang berani mengakui bahwa ada pahlawan-pahlawan lain yang selama ini luput dari sorotan.

Mari kita mulai menulis ulang sejarah—dengan keberanian, kejujuran, dan penghormatan yang setara.

Bagian 1: Kartini dan Bayang-Bayang yang Terlupakan

Setiap bulan April, kita mengenakan kebaya, membaca kutipan dari Habis Gelap Terbitlah Terang, dan menyebut nama Kartini dengan penuh hormat. Ia memang layak dikenang—seorang perempuan muda dari Jepara yang berani menulis tentang mimpi, pendidikan, dan kebebasan di tengah kungkungan adat dan kolonialisme.
Tapi di balik sorotan itu, ada bayang-bayang panjang yang jarang disentuh. Nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Rasuna Said, Fatmawati Soekarno, dan Laksamana Malahayati—mereka bukan hanya pejuang, mereka adalah fondasi. Tanpa keberanian mereka, mungkin semangat Kartini tak akan tumbuh sekuat itu.
Mengapa hanya Kartini yang diperingati secara nasional? Apakah karena ia “lebih cocok” dengan citra perempuan ideal versi negara? Apakah karena ia berasal dari Jawa, dekat dengan pusat kekuasaan? Atau karena surat-suratnya bisa dikemas dengan rapi dalam narasi yang tidak terlalu mengganggu struktur patriarki?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk merendahkan Kartini, tapi untuk membuka ruang bagi tokoh-tokoh lain yang selama ini berdiri di balik layar sejarah.

Bagian 2: Rasuna Said – Singa Betina yang Tak Diundang ke Panggung Nasional

Rasuna Said tidak menulis surat-surat manis. Ia berdiri di podium, mengguncang ruangan dengan pidato-pidato tajam yang mengkritik kolonialisme dan menuntut kesetaraan. Ia dijatuhi hukuman oleh pemerintah Hindia Belanda karena keberaniannya berbicara. Ia bukan hanya pejuang, ia adalah api.
Tapi api seperti Rasuna Said terlalu terang untuk narasi yang ingin tetap nyaman. Ia tidak diundang ke panggung nasional. Tidak ada Hari Rasuna Said. Tidak ada lomba pidato mengenang keberaniannya. Ia tetap hidup dalam arsip, dalam kutipan, dalam ingatan segelintir orang yang menolak lupa.
Padahal, jika kita bicara tentang emansipasi, Rasuna Said adalah Carmic—pembawa semangat. Kartini mungkin menjadi Carmic Cause—simbol yang diangkat. Tapi tanpa Rasuna, tanpa suara-suara lantang yang mengguncang, simbol itu mungkin tak akan pernah menyala.

Bagian 3: Fatmawati – Perempuan yang Menjahit Kemerdekaan

Di sebuah rumah sederhana, seorang perempuan muda menjahit bendera merah putih dengan tangan sendiri. Bukan sekadar kain, tapi harapan. Bendera itu kemudian dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namanya: Fatmawati Soekarno.
Ia bukan hanya istri presiden. Ia adalah saksi sejarah, pelaku sejarah, dan simbol kemerdekaan itu sendiri. Tapi dalam buku-buku pelajaran, ia sering kali hanya disebut sebagai “pendamping.” Perannya direduksi, disederhanakan, bahkan dilupakan.
Tidak ada Hari Fatmawati. Tidak ada peringatan nasional untuk perempuan yang menjahit lambang kemerdekaan bangsa. Padahal, setiap helai benang yang ia sulam adalah doa dan keberanian.

Bagian 4: Laksamana Malahayati – Armada Janda yang Mengguncang Lautan

Jika Dinasti Ming punya Muhammad Cheng Ho, Joseon punya Laksamana Yi Sun-sin, Usmaniyah punya Laksamana Barbaros Hayreddin Pasha dan Laksamana Turgut Reis, Jepang punya Laksamana Yamamoto Isoroku, dan Amerika punya Laksamana Chester W. Nimitz, maka jangan pernah melupakan Laksamana perempuan pertama di dunia. Ia yang lahir di Kesultanan Aceh Darussalam. Ia Laksamana Keumalahayati.

Di tengah gelombang laut Aceh yang bergemuruh, berdiri seorang perempuan yang tak gentar menghadapi musuh. Ia bukan hanya pemimpin armada laut, tapi juga simbol keteguhan dan strategi. Pasukannya terdiri dari para janda syuhada yang gugur dalam perang—disebut Inong Balee. Bersama mereka, Malahayati mengukir sejarah sebagai laksamana perempuan pertama di dunia.

Ia mengalahkan armada Portugis, menghadapi Belanda, dan bahkan membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran. Tapi namanya jarang disebut dalam pelajaran sejarah. Tidak ada peringatan nasional untuknya. Padahal, keberaniannya melampaui batas-batas gender dan zaman.

Kecantikannya memang tak setenar Cleopatra dari Mesir yang bisa menundukkan 2 konsul agung Romawi, kekuasaannya memang tak sebesar Elisabeth II dari Inggris, tapi dia bisa disandingkan dengan Ratu Seondeok dari Silla, Chaterine yang Agung dari Rusia, atau Ratu Lakshmibai dari Jhansi. Malahayati adalah bukti bahwa perempuan bukan hanya pelengkap dalam sejarah militer, tapi pemimpin yang mampu mengguncang lautan dan menggoyahkan kekuasaan. 

Bagian 5: Marie Thomas – Menyembuhkan Bangsa dengan Ilmu

Kisahnya mungkin tidak semonumental Peseshet dari Mesir, atau Agnodice dari Yunani dan Elisabeth Cellier, tak seagung Dae Jang Geum dari Joseon, Trota of Salerno dari Italia. Tapi di Indonesia, ia adalah pelopor gerakannya. Ia adalah Marie Thomas, dokter perempuan pertama di Indonesia. Di masa ketika pendidikan tinggi bagi perempuan nyaris mustahil, Marie menembus batas itu dan membuka jalan bagi generasi perempuan di dunia medis.
Ia bukan pejuang bersenjata, tapi perjuangannya tak kalah berat. Ia melawan stigma, diskriminasi, dan sistem yang tidak percaya bahwa perempuan bisa menjadi ilmuwan. Ia menyembuhkan tubuh, tapi juga menyembuhkan cara pandang masyarakat terhadap perempuan.
Namun, namanya jarang disebut. Tidak ada Hari Marie Thomas. Tidak ada penghargaan nasional yang mengabadikan jasanya. Padahal, ia adalah pionir yang membuktikan bahwa ilmu pengetahuan bisa menjadi medan perjuangan yang sunyi tapi bermakna.

Bagian 6: Rohana Kudus – Pena yang Menjadi Senjata

Di balik meja redaksi, seorang perempuan menulis dengan semangat yang menyala. Ia adalah Rohana Kudus, jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Ia mendirikan surat kabar Soenting Melajoe pada tahun 1912, khusus untuk perempuan. Melalui tulisannya, ia menyuarakan pentingnya pendidikan, kesetaraan, dan perlawanan terhadap penjajahan.
Rohana tidak membawa senjata, tapi ia membawa pena yang tajam. Ia tahu bahwa kata-kata bisa mengguncang kekuasaan, bisa membangkitkan kesadaran, dan bisa mengubah dunia. Ia adalah suara perempuan yang menolak dibungkam.
Namun, seperti banyak tokoh perempuan lainnya, Rohana Kudus tidak mendapat tempat yang layak dalam sejarah nasional. Ia tetap hidup dalam arsip, dalam kutipan, dalam semangat yang diwariskan kepada para jurnalis perempuan masa kini.

Bagian 7: Nyi Ageng Serang – Strategi, Semangat, dan Seruan Perlawanan

Di tengah medan Perang Diponegoro, seorang perempuan tua menaiki tandu, memimpin pasukan dengan semangat yang tak pernah padam. Namanya: Nyi Ageng Serang. Usianya sudah lanjut, tapi pikirannya tajam dan keberaniannya tak tergoyahkan. Ia bukan hanya pemimpin, tapi juga ahli strategi yang menyamarkan pasukannya dengan daun kelor agar tak terlihat oleh musuh.
Nyi Ageng Serang adalah bukti bahwa usia bukan batas, dan perempuan bukan pelengkap. Ia adalah jantung perlawanan, pemimpin yang dihormati oleh pasukan dan ditakuti oleh penjajah. Tapi dalam buku sejarah, namanya sering kali hanya disebut sepintas. Padahal, ia adalah simbol bahwa semangat tak mengenal usia, dan keberanian tak mengenal gender.

Bagian 8: Dewi Sartika – Sekolah, Semangat, dan Sinar Pendidikan

Di tanah Priangan, seorang perempuan muda membuka pintu sekolah pertama untuk perempuan. Namanya: Dewi Sartika. Ia percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan batin, dan bahwa perempuan berhak untuk belajar, berpikir, dan bermimpi.
Sekolah yang ia dirikan bukan sekadar ruang kelas, tapi ruang harapan. Ia mengajarkan keterampilan hidup, etika, dan keberanian untuk menjadi perempuan yang mandiri. Di masa ketika perempuan hanya diizinkan berada di dapur, Dewi Sartika membuka jendela dunia.
Ia adalah pelita yang menerangi jalan pendidikan perempuan Indonesia. Tapi namanya jarang dirayakan seperti Kartini, meski perjuangannya nyata dan berdampak luas. Ia layak dikenang sebagai ibu pendidikan perempuan Nusantara.

Bagian 9: Martha Christina Tiahahu – Api Muda dari Timur

Di Maluku, seorang gadis remaja memilih untuk mengangkat senjata bersama ayahnya melawan Belanda. Namanya: Martha Christina Tiahahu. Usianya baru belasan tahun, tapi semangatnya menyala seperti bara. Ia tidak mau diam, tidak mau tunduk, dan tidak mau menyerah.
Ketika ditangkap dan dibuang ke Jawa, ia menolak makan. Ia memilih mati daripada hidup dalam penindasan. Ia adalah simbol keberanian muda, api yang menyala dari Timur, dan bukti bahwa perjuangan tidak mengenal usia.
Namanya hidup dalam puisi, dalam lagu, dalam semangat anak-anak Maluku. Tapi secara nasional, ia belum mendapat tempat yang layak. Padahal, keberaniannya melampaui batas usia dan wilayah.

Bagian 10: Siti Walidah – Ibu Aisyiyah, Penjaga Cahaya

Di balik nama besar KH. Ahmad Dahlan, berdiri seorang perempuan yang tak kalah berpengaruh: Siti Walidah, atau Nyai Ahmad Dahlan. Ia adalah pendiri Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah yang memperjuangkan pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan.
Ia bukan hanya istri seorang ulama, tapi pemikir, pendidik, dan pemimpin. Ia mengajarkan tafsir Al-Qur’an kepada perempuan, membuka ruang diskusi, dan membangun sistem pendidikan yang berakar pada nilai Islam dan kemanusiaan.
Siti Walidah adalah cahaya yang menjaga nyala gerakan perempuan Islam di Indonesia. Tapi namanya sering kali tenggelam di balik bayang-bayang suaminya. Padahal, ia adalah fondasi yang menopang gerakan besar.

Bagian 11: Ratu Nahrasiyah – Perempuan, Ulama, dan Pemimpin Negeri

Ia, di Samudera Pasai, abad ke-14, perempuan yang memimpin negeri dengan kebijaksanaan dan keilmuan. Namanya: Ratu Nahrasiyah. Ia adalah sultanah, ulama, dan pemimpin yang dihormati oleh rakyat dan ulama-ulama besar.
Ia memerintah dengan adil, memperkuat pendidikan Islam, dan menjalin hubungan diplomatik dengan dunia luar. Di masa ketika perempuan jarang menjadi pemimpin, ia menunjukkan bahwa ilmu dan iman bisa menjadi dasar kekuasaan yang bijak.
Namanya nyaris hilang dari buku sejarah. Tapi jejaknya masih terasa dalam tradisi intelektual Islam di Nusantara. Ia adalah bukti bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin negeri dan penjaga ilmu.

Bagian 12: Siti Hartinah – Ibu Tien Suharto dan Arsitek Budaya

Meski ada berbagai macam kritikan terhadap Bapak Pembangunan, The Smiling General, Soeharto, tapi kita tidak bisa menafikan bahwa beliau juga sangat berjasa untuk negeri ini, dari swasembada pangan, pembangunan N250, Satelit Palapa, Wajib Belajar, sampai perebutan Irian Barat. Dan di balik pembangunan nasional, berdiri seorang perempuan yang memperjuangkan pelestarian budaya dan pendidikan. Namanya: Siti Hartinah, atau Ibu Tien Suharto. Ia mendirikan Taman Mini Indonesia Indah, bukan sekadar taman hiburan, tapi taman identitas bangsa.
Ia percaya bahwa budaya adalah akar, dan bahwa Indonesia harus mengenali dirinya sendiri sebelum melangkah ke dunia. Ia mendukung pendidikan, pelestarian seni, dan pembangunan karakter bangsa.
Meski namanya sering dikaitkan dengan politik, kontribusinya dalam bidang budaya dan pendidikan tak bisa diabaikan. Ia adalah arsitek narasi kebangsaan yang berakar pada keberagaman.

Apakah Sejarah Perempuan Harus Ditulis Ulang?

Sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan nama. Ia adalah cermin dari siapa yang kita anggap penting, siapa yang kita pilih untuk dikenang, dan siapa yang kita biarkan terlupakan.

"Sejarah harus mencatat bahwa tragedi terbesar dari periode transisi sosial ini bukanlah teriakan keras orang-orang jahat, tetapi keheningan yang mengerikan dari orang-orang baik." - Martin Luther King, Jr.

Ketika kita hanya mengenang satu nama—Kartini—dan melupakan puluhan perempuan lain yang berjuang dengan cara yang berbeda, kita sedang membiarkan sejarah menjadi sempit. Kita sedang membiarkan narasi dominan menentukan siapa yang layak dikenang.
Sudah saatnya kita menulis ulang sejarah. Bukan untuk menghapus yang lama, tapi untuk melengkapi. Untuk memberi ruang bagi keberagaman perjuangan. Untuk mengakui bahwa perempuan Indonesia telah berjuang di medan perang, di ruang kelas, di meja redaksi, dan di ruang praktik. Mereka semua layak dikenang. Mereka semua adalah pahlawan.
Mereka bukan hanya tokoh. Mereka adalah penulis sejarah yang menulis dengan tangan sendiri—dengan pena, dengan jarum jahit, dengan strategi perang, dengan pidato, dengan ilmu, dan dengan cinta. Mereka adalah perempuan yang membentuk Indonesia, bukan dari pinggir, tapi dari pusat perjuangan.
Kini, saatnya kita berhenti melihat sejarah sebagai milik para pemenang saja. Kita harus melihatnya sebagai milik semua yang berjuang, semua yang mencintai negeri ini dengan cara mereka masing-masing.
Karena sejarah yang utuh adalah sejarah yang memberi ruang bagi semua suara. Dan suara perempuan Indonesia—dari Aceh hingga Maluku, dari masa kerajaan hingga masa kemerdekaan—adalah nyanyian yang tak boleh dibungkam.

Menyalakan Kembali Api yang Pernah Menyala

Kita telah menyusuri jejak para perempuan luar biasa yang membentuk Indonesia. Dari Malahayati yang mengguncang lautan, Rasuna Said yang mengguncang podium, hingga Marie Thomas yang menyembuhkan bangsa dengan ilmu. Mereka bukan hanya tokoh sejarah. Mereka adalah nyala api yang pernah menyala, dan kini saatnya kita menyalakannya kembali.
Mengingat mereka bukan sekadar mengenang. Ini adalah bentuk penghormatan, pengakuan, dan keberanian untuk berkata: sejarah kita belum lengkap. Kita punya tanggung jawab untuk melengkapinya.
Karena bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghormati pahlawannya, tapi juga bangsa yang berani mengakui bahwa ada pahlawan-pahlawan lain yang selama ini berdiri dalam bayang-bayang.

"Kita belajar dari sejarah bahwa kita tidak belajar apa pun dari sejarah." - George Santayana

Daftar Pustaka

Lasminah, Putu. 1983. Nyi Ageng Serang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
UIN Sunan Kalijaga. 2019. “Perjuangan Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro 1825–1830.” Skripsi, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya.
Asura, E. Rokajat. 2019. Raden Dewi Sartika: Pendidik Bangsa dari Pasundan. Jakarta: IIman Real.
Meidiana, F. 2022. Raden Dewi Sartika: Pejuang dan Tokoh Pendidikan Wanita. Jakarta: Niaga Swadaya.
Zenius Education. 2023. “Raden Dewi Sartika dan Perjuangannya dalam Pendidikan.” https://www.zenius.net/blog/raden-dewi-sartika
Zacharias, L.J.H. 1981. Biografi Martha Christina Tiahahu. Jakarta: Balai Pustaka.
Hanugrah, R.M. 2024. Biografi Pahlawan Nasional: Martha Christina Tiahahu. Jakarta: Silda Impika.
Mardiah, Nurul Izati et al. 2022. “Analisis Pergerakan Pendidikan Perempuan serta Kiprah Siti Walidah di Aisyiyah.” Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan 6(1): 60–74.
Suara Aisyiyah. 2023. “Perjuangan Siti Walidah Mengangkat Derajat Perempuan.” https://suaraaisyiyah.id/perjuangan-siti-walidah-mengangkat-derajat-perempuan
Alfian, T. Ibrahim. 1986. Islam dan Peradaban di Aceh. Jakarta: Sinar Harapan.
Moquette, J.P. 1921. De Grafsteenen Te Pase En Grissee. Leiden: Tijdschrift Voor Indishe Taal Land-en Volkenkunde.
Munir, Abdul. 2024. “Samudera Pasai di Bawah Kepemimpinan Sultanah Nahrasiyah.” Skripsi, UIN Ar-Raniry. https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/40197/
Swara Rahima. 2020. “Ratu Nahrisiyah, Ratu Arif dan Bijak dari Kerajaan Samudra Pasai.” https://swararahima.com/2020/03/03/ratu-nahrisiyah-ratu-arif-dan-bijak-dari-kerajaan-samudra-pasai
Sitompul, Martin. 2021. “Cerita di Balik Pembangunan TMII.” Historia.id. https://www.historia.id/article/cerita-di-balik-pembangunan-tmii-dbz15
Taman Mini Indonesia Indah. 2025. “Tentang TMII.” https://tamanmini.com/taman_jelajah_indonesia/en/tentang-tmii/
Universitas Diponegoro. 2024. “Gambaran Umum Taman Mini Indonesia Indah.” https://eprints2.undip.ac.id/id/eprint/28687/3/Bab%202.pdf


Bibliografi Anotatif – Perempuan yang Membentuk Indonesia

1. Lasminah, Putu. 1983. Nyi Ageng Serang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Buku ini adalah salah satu sumber primer yang menyoroti strategi militer dan kepemimpinan Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro. Ditulis dengan gaya dokumenter, ia memberi gambaran tentang bagaimana perempuan tua bisa menjadi jenderal yang disegani. Sangat penting untuk menunjukkan bahwa keberanian tak mengenal usia.

2. Asura, E. Rokajat. 2019. Raden Dewi Sartika: Pendidik Bangsa dari Pasundan. Jakarta: IIman Real.

Sumber ini menyajikan kisah Dewi Sartika sebagai pelopor pendidikan perempuan di Jawa Barat. Penulis menekankan perjuangan sosial dan budaya yang ia hadapi, menjadikan buku ini relevan untuk memahami konteks kolonial dan patriarki yang ia lawan.

3. Zacharias, L.J.H. 1981. Biografi Martha Christina Tiahahu. Jakarta: Balai Pustaka.

Biografi klasik ini menggambarkan Martha sebagai simbol perlawanan muda dari Maluku. Narasinya kuat dan penuh emosi, cocok untuk membangun artikel yang menekankan keberanian remaja perempuan dalam sejarah perjuangan.

4. Mardiah, Nurul Izati et al. 2022. “Analisis Pergerakan Pendidikan Perempuan serta Kiprah Siti Walidah di Aisyiyah.” Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan 6(1): 60–74.

Artikel akademik ini mengulas kontribusi Siti Walidah dalam membangun pendidikan perempuan berbasis nilai Islam. Sangat berguna untuk menunjukkan bahwa gerakan perempuan dalam Islam bukanlah hal baru, melainkan bagian dari tradisi intelektual yang panjang.

5. Alfian, T. Ibrahim. 1986. Islam dan Peradaban di Aceh. Jakarta: Sinar Harapan.

Buku ini menyebut Ratu Nahrasiyah sebagai pemimpin perempuan yang berilmu dan adil di Samudera Pasai. Ia memperkuat narasi bahwa perempuan dalam sejarah Islam Nusantara pernah memegang kekuasaan dan dihormati oleh ulama.

6. Sitompul, Martin. 2021. “Cerita di Balik Pembangunan TMII.” .

Artikel ini mengungkap peran Siti Hartinah dalam merancang Taman Mini Indonesia Indah sebagai simbol keberagaman budaya. Ia memperlihatkan bahwa perempuan juga bisa menjadi arsitek narasi kebangsaan, bukan hanya pendamping politik.

Posting Komentar

2 Komentar

Posting Komentar
1/related/default