Tafsir Literasi di Era Digital

0

Sebuah Catatan.



Qualitas tui ipsius pendet ex quanto librum in corde tuo intelligis.
Kualitas dirimu ditentukan oleh seberapa banyak kamu memahami buku yang ada dalam hatimu.


"Inti dari kurikulum kita sebenarnya hanya ada dua, literasi dan numerasi" kata seorang pakar pendidikan. Haha. Tentu saja, Anda bisa menganggap pemikiran itu sebagai hal yang modern, kekinian, dan label wah lainnya. Padahal menurut saya, dalam Islam, hal itu adalah bahasa yang sudah basi. Bahkan anak kelas 1 madrasah ibtidaiyah nun jauh di pulau sana sudah diajari bahwa wahyu yang pertama kali turun berbunyi "Iqra", bacalah. Dan andai mereka, para pakar itu sedikit mau membaca Al-Quran, mereka akan tahu bahwa kata Iqra itu terdapat dalam surah Al-Alaq. Penciptaan. Bahkan Tuhan sudah mewahyukan bahwa kau dicipta untuk kembaca, dan membaca yang merujuk pada hakikat penciptaan tidak hanya melulu "membaca" tapi lebih pada menyimak segala apa yang telah dicipta.

Dan semua siswa (santri) di pesantren tahu itu. Bahwa hanya dengan membaca kita bisa mempelajari hakikat penciptaan. 

 “Membawa buku sama wajibnya dengan mengerjakan shalat fardu.”

حملُ الكتابِ واجبٌ كوجوبِ أداءِ الصلاةِ المفروضة.

Kalimat itu bukan hiperbola, tapi cerminan dari betapa sakralnya ilmu dalam tradisi pesantren. Buku bukan benda mati, tapi jalan hidup. Ia bukan sekadar sumber informasi, tapi sumber transformasi.

Kini, di era digital, kita hidup dalam paradoks. Akses terhadap informasi tak pernah semudah ini, tapi pemahaman terhadap makna justru semakin langka. Ponsel menjadi benda paling sering digenggam, lebih dari mushaf, lebih dari buku, bahkan lebih dari tangan anak sendiri. Ustadz H. Mohammad Idris Jauhari pernah mengingatkan:

“Jangan pernah percaya pada orang lebih banyak memegang ponsel daripada membaca buku.”

لا تثقْ أبداً بمن يُمسكُ الهاتفَ أكثرَ مما يقرأُ الكتابَ.

Kalimat itu menusuk, karena ia benar. Kita lebih sering menggesturkan tangan di atas layar gawai daripada menyentuh lembaran ilmu. Kita lebih sering scroll daripada menyimak.

Padahal, dalam Al-Quran, ada perintah yang halus tapi tegas:

“Jangan katakan kami melihat, tapi katakanlah kami menyimak.”

لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا (QS. Al-Baqarah: 104)

Menyimak adalah bentuk tertinggi dari membaca. Ia menuntut kehadiran penuh, bukan sekadar kecepatan. Literasi bukan sekadar kemampuan membaca huruf, tapi kemampuan membaca makna. Dan makna tidak bisa di-swipe. Ia harus diselami, direnungi, dan dihidupi.

Di tengah banjir informasi, kita sering terjebak dalam ilusi bahwa tahu berarti paham. Bahwa membaca headline berarti mengerti isi. Bahwa meneruskan video berarti peduli. Padahal, seperti kata seorang guru:

“Mereka yang tak membaca dalam sehari saja, maka haram baginya surga.”

من لم يقرأْ في يومٍ واحدٍ، فالجنةُ عليه حرامٌ.Muhammad Tsani

Ekstrem? Mungkin. Tapi ekstremitas itu lahir dari cinta yang dalam terhadap ilmu. Karena membaca bukan hanya aktivitas mata, tapi juga hati.

Mbah Zawawi Imron pernah berkata, “Saat aku ke toilet dan lupa membawa buku, aku merasa sangat berdosa.” Kalimat itu bukan sekadar humor, tapi pengakuan spiritual. Karena bagi beliau, buku bukan benda, tapi jalan pulang. Jalan pulang menuju makna, menuju Tuhan, menuju diri sendiri.

Saya tidak anti teknologi. Justru saya hidup bersamanya. Di antara banyak teman seprofesi, hanya beberapa yang level native technology-nya setara dengan saya. Saya percaya, teknologi tanpa literasi adalah kekosongan yang bising. Maka, sebelum kita sok keren dengan belajar digital, mbok ya baca buku konvensional dulu. Sentuh kertasnya, hirup baunya, rasakan lipatan catatannya. Karena di sana, ada jejak manusia. Ada proses. Ada kesabaran.

Lemari buku bukan sekadar dekorasi. Ia adalah museum kecil dari perjalanan jiwa. Dana yang saya habiskan untuk mengisinya hampir setara dengan biaya langganan internet berbandwidth 100 mbps selama satu dekade. Tapi tak ada kata menyesal. Karena buku-buku itu telah membentuk manusia dalam diri saya, lebih dari algoritma mana pun.

Maka, jika Anda bertanya pada saya: “Siapa yang miskin di era ini?” Saya akan menjawab: “Mereka yang tak punya perpustakaan di rumahnya. Bahkan tak mampu beli karya Fujiko F. Fujio.”

📜 Catatan Penutup: "Mereka yang tidak membaca buku, seperti halnya membunuh waktu, dan mereka yang membunuh waktu sama saja dengan membunuh diri sendiri, karena waktu adalah kehidupan itu sendiri."Imam Muhammad Al-Banna (1906–1949)

الذين لا يقرؤون الكتب كأنهم يقتلون الوقت، ومن يقتل الوقت فكأنما يقتل نفسه، لأن الوقت هو الحياة نفسها.الإمام محمد البنّا (١٩٠٦–١٩٤٩)

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
1/related/default