Melihat Sejarah dari Tembok Sunyi

2
Catatan: Artikel ini mengandung aksara Hanzi dan Arab. Beberapa browser atau gawai mungkin tidak mendukung tampilannya.


War and art are best observed from a distance. (Vincenzo Cassano)

Pendahuluan
Dalam dunia yang bergerak cepat dan penuh tuntutan untuk bertindak, lagu Bi Shang Guan (Spectator from The Wall) hadir sebagai ruang kontemplatif yang mengajak kita berhenti sejenak dan melihat. Lagu ini bukan sekadar karya musik; ia adalah refleksi tentang waktu, sejarah, dan posisi manusia sebagai penonton dalam arus peristiwa. Dengan nuansa puitis dan visual yang kuat, lagu ini menghidupkan kembali semangat mural kuno Dunhuang dan mengajak kita merenungkan makna keterasingan, pengamatan, dan kebijaksanaan dalam diam.

 Aspek Sastra: Puisi yang Hidup dalam Nada
Lirik Bi Shang Guan ditulis dengan gaya yang menyerupai puisi klasik Tiongkok. Imaji seperti bayangan, istana, dan cahaya yang memantul menciptakan suasana mimpi dan keheningan. Contoh baris seperti:
“一刹那栩栩缕影浮光映宫阙”
Dalam sekejap, bayangan halus berkilau memantul di istana
menggambarkan dunia yang tidak bergerak, namun penuh makna. Lagu ini tidak menggunakan narasi langsung, melainkan menyampaikan perasaan melalui metafora dan simbol. Seperti puisi, ia tidak menjelaskan, tetapi mengundang interpretasi. Pendengar diajak untuk menjadi bagian dari ruang batin yang sunyi, tempat di mana sejarah dan mimpi bertemu.

Aspek Sejarah: Mural Dunhuang sebagai Jejak Zaman
Dunhuang, kota kuno di Jalur Sutra, menyimpan ribuan tahun sejarah dalam bentuk mural di gua Mogao. Mural-mural ini menggambarkan dewa, lanskap surgawi, dan narasi Buddhis yang penuh kontemplasi. Mereka bukan sekadar lukisan, tetapi penyimpan waktu—menyaksikan perubahan zaman tanpa suara.
Lagu Bi Shang Guan seolah menjadi refleksi modern dari semangat mural Dunhuang. Ia mengajak kita untuk melihat sejarah bukan sebagai deretan peristiwa, tetapi sebagai cermin jiwa manusia. Seperti mural yang diam di dinding gua, lagu ini menyuarakan keheningan yang berbicara.

Aspek Filosofis: Waktu, Keterasingan, dan Peran Penonton Sejarah
Lagu ini mengandung pesan eksistensial yang kuat. Tokohnya terbangun dari mimpi panjang, hanya untuk menyadari bahwa ia bukan pelaku sejarah, melainkan penonton:
“却醒来作壁上观”
Namun terbangun hanya sebagai penonton dari tembok
Ini bukan pengakuan kelemahan, melainkan refleksi tentang posisi manusia dalam arus sejarah. Dalam filsafat Timur, keterasingan bukan selalu negatif; ia bisa menjadi jalan menuju kebijaksanaan. Lagu ini mengajak kita untuk menerima bahwa kadang, pengamatan adalah bentuk kebijaksanaan, dan bahwa ada nilai dalam diam, dalam mengingat, dan dalam menyaksikan.

Resonansi dalam Sejarah Indonesia: Jejak Majapahit dan Tembok yang Berbicara
Lagu Bi Shang Guan, dengan pesan tentang waktu, pengamatan, dan keterasingan, menemukan gema yang kuat dalam sejarah Indonesia, terutama dalam peninggalan Kerajaan Majapahit. Seperti mural Dunhuang yang menyimpan narasi spiritual dan sejarah dalam keheningan, peninggalan Majapahit adalah tembok yang berbicara—bukan dengan suara, tetapi dengan simbol, bentuk, dan jejak waktu.

Relief sebagai Narasi Diam
Relief-relief di candi-candi peninggalan Majapahit, seperti Candi Penataran, Candi Bajang Ratu, dan Candi Tikus, bukan sekadar ornamen arsitektur. Mereka adalah narasi visual yang menyampaikan kisah Ramayana, Mahabharata, dan kehidupan kerajaan. Seperti lirik Bi Shang Guan yang penuh metafora, relief ini tidak menjelaskan secara langsung, tetapi mengajak pengamat untuk menafsirkan, merenung, dan menyelami makna di balik bentuk.

Relief tersebut juga menunjukkan bagaimana Majapahit memahami waktu sebagai siklus, bukan garis lurus. Kisah-kisah dalam relief bukan hanya mitos, tetapi cerminan nilai, harapan, dan ketakutan masyarakat zaman itu. Dalam konteks ini, kita sebagai generasi penerus adalah “penonton sejarah” yang berdiri di hadapan tembok, mencoba memahami pesan yang ditinggalkan.

Naskah sebagai Cermin Waktu
Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca adalah contoh lain dari narasi sejarah yang mengandung kontemplasi. Ditulis sebagai pujian terhadap Raja Hayam Wuruk, kitab ini juga menyimpan refleksi tentang kekuasaan, waktu, dan keterbatasan manusia. Seperti tokoh dalam Bi Shang Guan yang terbangun dari mimpi dan menyadari dirinya hanya penonton, Mpu Prapanca pun menulis dengan kesadaran bahwa kejayaan Majapahit adalah bagian dari siklus sejarah yang akan berlalu.
Dalam pembacaan yang lebih filosofis, Negarakertagama bukan hanya dokumentasi, tetapi juga meditasi tentang impermanensi. Ia mengajak pembaca untuk melihat sejarah bukan sebagai kebanggaan semata, tetapi sebagai pelajaran tentang arah, bukan kecepatan—seperti yang dikatakan gurumu.

Lanskap sebagai Ruang Kontemplatif
Peninggalan Majapahit tidak hanya berupa bangunan dan naskah, tetapi juga lanskap. Situs Trowulan, yang diyakini sebagai ibu kota Majapahit, adalah ruang terbuka yang menyimpan jejak kehidupan masa lalu. Di sana, reruntuhan, kolam, dan jalan-jalan kuno menjadi saksi bisu dari peradaban yang pernah berjaya.
Mengunjungi Trowulan bisa menjadi pengalaman Bi Shang Guan yang nyata—kita berdiri di hadapan sejarah, tidak untuk mengubahnya, tetapi untuk menyaksikannya dengan penuh kesadaran. Seperti mural Dunhuang yang diam namun hidup, lanskap Majapahit adalah ruang kontemplatif yang mengajak kita untuk melihat ke dalam, bukan hanya ke luar.

Peran Penonton dalam Kebudayaan Jawa
Dalam tradisi Jawa, peran penonton bukanlah pasif. Wayang, misalnya, mengajarkan bahwa penonton memiliki peran spiritual—mereka menyaksikan lakon sebagai cermin kehidupan. Dalam konteks ini, Bi Shang Guan sejalan dengan nilai Jawa tentang eling (kesadaran) dan waspada (kewaspadaan).
Menjadi penonton sejarah berarti menjadi penjaga makna. Kita tidak harus menjadi pelaku perubahan besar untuk berkontribusi; cukup dengan memahami, mengingat, dan meneruskan nilai-nilai yang diwariskan. Seperti tembok Majapahit yang tetap berdiri meski tak lagi ramai, kita pun bisa menjadi tembok sunyi yang menyimpan kebijaksanaan.
Beberapa kitab klasik dari masa Majapahit memang menyimpan nuansa ketakberdayaan dan refleksi mendalam terhadap keruntuhan atau perubahan zaman, meskipun tidak selalu secara eksplisit menyebut “keruntuhan.” 

Sastra Klasik Indonesia: Jejak Majapahit dalam Keheningan
1. Kitab Pararaton
Isi: Pararaton (Kitab Raja-Raja) ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan mencatat silsilah serta peristiwa penting dari kerajaan Singasari hingga Majapahit.
Nuansa Ketakberdayaan: Meskipun bersifat kronik, Pararaton memuat kisah-kisah yang menunjukkan transisi kekuasaan, konflik internal, dan pertanda kemunduran.
Contoh: Narasi tentang kematian Gajah Mada dan perpecahan politik setelahnya memberi kesan bahwa kejayaan Majapahit mulai goyah. Penulisnya tidak menyuarakan kemarahan, tetapi menyampaikan peristiwa dengan nada yang tenang dan seolah pasrah terhadap arus sejarah.

2. Kitab Sutasoma oleh Mpu Tantular
Isi: Kisah perjalanan spiritual Pangeran Sutasoma dalam mencari pencerahan.
Relevansi: Meski tidak membahas Majapahit secara langsung, kitab ini ditulis pada masa Hayam Wuruk dan mengandung ajaran tentang toleransi, impermanensi, dan kesatuan dalam keberagaman.
Frasa terkenal: “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa”—yang berarti “Berbeda-beda tetapi satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua.”
Makna Filosofis: Dalam konteks keruntuhan, ajaran ini bisa dibaca sebagai harapan agar masyarakat tetap bersatu meski kerajaan mengalami kemunduran.

3. Arjunawiwaha oleh Mpu Kanwa
Isi: Kisah Arjuna yang menjalani tapa dan diuji oleh para dewa sebelum menerima tugas besar.
Simbolisme: Arjuna sebagai simbol manusia yang harus melewati penderitaan dan godaan sebelum mencapai kebijaksanaan.
Relevansi: Dalam konteks Majapahit, kisah ini bisa dibaca sebagai alegori tentang pemimpin yang harus menghadapi kehancuran dan keterasingan sebelum menemukan arah baru.

Tiongkok: Tradisi Epik yang Terus Hidup
Tiongkok memiliki tradisi sastra yang sangat panjang dan terstruktur, dengan dukungan kuat dari negara, budaya, dan pendidikan. Beberapa faktor yang membuat karya mereka terasa lebih “epik”:
1. Kanon Sastra yang Terjaga
Karya seperti Romance of the Three Kingdoms, Journey to the West, Dream of the Red Chamber, dan Water Margin bukan hanya dibaca, tapi diajarkan, diadaptasi, dan dirayakan lintas generasi.
Mereka menjadi bagian dari identitas nasional dan spiritual, bukan sekadar hiburan.

2. Adaptasi Visual yang Konsisten
Drama dan film Tiongkok sering mengadaptasi karya klasik dengan produksi besar, sinematografi indah, dan narasi filosofis.
Bahkan karya modern seperti Nirvana in Fire atau The Longest Day in Chang’an tetap membawa semangat klasik: kesetiaan, pengorbanan, dan dilema moral.

3. Filosofi yang Menyatu dengan Narasi
Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme bukan hanya latar, tapi menjadi struktur moral dan eksistensial dalam cerita.
Tokoh-tokohnya tidak hanya berjuang secara fisik, tapi juga batin—dan itu memberi kedalaman yang menyentuh.

Indonesia: Sastra yang Tersembunyi dalam Keheningan
Indonesia juga memiliki warisan sastra yang kaya, tapi sering kali tersembunyi, terfragmentasi, atau tidak diberi ruang yang cukup. Beberapa tantangan dan keunikan:

1. Tradisi Lisan yang Dominan
Banyak kisah epik Indonesia hidup dalam bentuk lisan: wayang, pantun, hikayat, dan cerita rakyat.
Karena tidak terdokumentasi secara sistematis seperti di Tiongkok, mereka sulit diakses atau dikembangkan secara visual.

2. Perubahan Politik dan Bahasa
Peralihan dari bahasa Jawa Kuno, Melayu Klasik, ke bahasa Indonesia modern membuat banyak karya klasik “terputus” dari pembaca masa kini.
Karya seperti Serat Centhini, Hikayat Hang Tuah, atau Syair Abdul Muluk sangat kaya, tapi jarang diajarkan atau diadaptasi.

3. Narasi yang Lebih Intim dan Sosial
Sastra modern Indonesia lebih banyak berfokus pada realisme sosial, perjuangan identitas, dan konflik batin dalam masyarakat.
Karya seperti Ronggeng Dukuh Paruk atau Bumi Manusia sangat kuat secara emosional, tapi tidak selalu “epik” dalam skala naratif.

Bukan Soal Jumlah, Tapi Soal Ruang dan Perhatian
Karya epik dari Tiongkok mungkin terasa lebih banyak dan megah. Tapi itu bukan karena Indonesia kekurangan cerita, melainkan karena banyak cerita Indonesia belum diberi ruang untuk tumbuh dan bersinar.
Bayangkan jika Pararaton diadaptasi menjadi serial visual dengan gaya Nirvana in Fire—dengan fokus pada intrik politik, kesetiaan, dan keruntuhan. Atau jika Serat Centhini dijadikan drama spiritual tentang pencarian makna hidup. Potensinya luar biasa.

Refleksi
Bi Shang Guan bukan ajakan untuk pasif, melainkan undangan untuk reflektif. Ia mengingatkan kita bahwa tidak semua peran harus aktif, dan bahwa ada keindahan dalam menjadi saksi sejarah. Seperti tembok yang menyimpan jejak waktu, lagu ini adalah ruang di mana kita bisa berhenti sejenak, melihat ke dalam, dan menemukan makna dalam keheningan.
Meskipun tidak ada satu kitab yang secara eksplisit menyatakan “kami tak berdaya melihat Majapahit runtuh,” banyak karya sastra dari masa itu menyimpan kesedihan yang tersirat, kontemplasi tentang waktu, dan kesadaran akan siklus sejarah. Mereka tidak menjerit, tetapi merenung. Seperti Bi Shang Guan, mereka menyaksikan dari tembok—dengan mata yang terbuka dan hati yang tenang.
Dalam dunia pendidikan, lagu ini bisa menjadi pintu masuk untuk memahami sejarah sebagai pengalaman batin, bukan sekadar fakta. Ia mengajarkan bahwa menjadi penonton pun bisa menjadi bentuk kebijaksanaan—jika kita tahu bagaimana cara melihat.
1. Menuliskan Ulang Tutur Menjadi Narasi Tertulis
Banyak kisah lokal—dari tokoh desa, legenda, hingga perjuangan komunitas—masih hidup dalam lisan. Pelaku sejarah hari ini bisa:
Merekam dan menuliskan kisah-kisah tersebut dalam bentuk buku, artikel, atau blog.
Menggunakan pendekatan naratif, bukan hanya akademik, agar kisahnya menyentuh dan mudah diakses.
Menyusun “Shiji Indonesia” versi lokal—bukan satu kitab besar, tapi ribuan narasi kecil yang membentuk mosaik sejarah bangsa.
Contoh: Kisah tentang Ki Ageng Selo yang menangkap petir, atau Nyai Roro Kidul sebagai simbol kekuasaan maritim, bisa ditulis ulang dengan pendekatan filosofis dan historis, bukan hanya mitologis.

2. Mengadaptasi Sejarah ke Media Visual dan Interaktif
Sejarah tidak harus tinggal di buku. Pelaku sejarah bisa:
Membuat film dokumenter, drama sejarah, atau animasi pendek yang mengangkat kisah lokal.
Mengembangkan chatbot naratif atau game edukatif yang membawa siswa menjelajahi sejarah secara interaktif.
Menggunakan media sosial untuk menyebarkan narasi sejarah dengan gaya visual dan storytelling yang kuat.
Contoh: Bayangkan sebuah serial pendek tentang Gajah Mada yang bukan hanya menampilkan perang, tapi juga dilema batin dan filosofi sumpahnya.

3. Menghubungkan Sejarah dengan Identitas dan Nilai Kontemporer
Sejarah bukan hanya masa lalu, tapi cermin masa kini. Pelaku sejarah bisa:
Menafsirkan ulang nilai-nilai dari masa lalu untuk menjawab tantangan hari ini: toleransi, keberanian, kesetiaan, dan kebijaksanaan.
Mengaitkan tokoh sejarah dengan isu modern: misalnya, Kartini bukan hanya tentang emansipasi, tapi juga tentang pendidikan dan spiritualitas.
Menjadikan sejarah sebagai alat refleksi, bukan sekadar hafalan.
Contoh: Menggunakan kisah Majapahit untuk membahas soal persatuan dalam keberagaman, bukan hanya kejayaan politik.

4. Membangun Ruang Reflektif, Bukan Sekadar Arsip
Pelaku sejarah bisa menciptakan ruang di mana masyarakat merenung, bukan hanya mengingat:
Museum yang tidak hanya memajang benda, tapi juga mengajak pengunjung berdialog dengan masa lalu.
Forum diskusi, kelas filsafat sejarah, atau pameran naratif yang mengajak orang bertanya: Apa makna sejarah bagi hidupku hari ini?
Menjadikan sejarah sebagai bagian dari pendidikan karakter, bukan hanya kurikulum.

Penutup: Menjadi Penjaga Tembok yang Berbicara
Seperti mural Dunhuang atau relief Majapahit, pelaku sejarah Indonesia hari ini bisa menjadi penjaga tembok yang berbicara. Mereka tidak harus menjadi Sima Qian, tapi bisa menjadi penyambung makna, penulis ulang tutur, dan penyuluh cahaya dari masa lalu.

Daftar Pustaka
Liu, Runhong et al. The Aesthetic of Ruins in Dunhuang Murals. Idealogy Journal, Vol. 10 No. 1, 2025.
Artifacts Travel. Art and Buddhism. The Ancient Murals in the Caves of Dunhuang, 2021.
I Gusti Bagus Sugriwa, Sutasoma / ditulis dengan huruf Bali dan Latin, diberi arti dengan bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Denpasar: Pustakamas, 1959 - 1961.
P.J. Zoetmulder, Kalangwan: A survey of Old Javanese Literature. The Hague: Martinus Nijhoff. 1974.
Wiryamartana, I. Kuntara. Arjunawiwâha. Duta Wacana University Press,Yogyakarta. 1990.
Anonim. Kitab Pararaton (±1613 M).
Vyasa. (adaptasi Jawa Kuno). Mahabharata – Kakawin versi Jawa. (1015).
Watson, Burton, trans. Records of the Grand Historian of China. New York: Columbia University Press. 1961.
Yang Zhongxian; Hao Zhida, eds. Quanjiao quanzhu quanyi quanping Shiji [Shiji: Fully Collated, Annotated, Translated, and Evaluated], 6 vols. Tianjin: Tianjin guji chubanshe. 1997.
Yang Yanqi; ed. "Shi Ji Quan Yi", 12 vols. Guiyang: Guizhou renmin chubanshe. 2001.
Lin Yutang. The Wisdom of Confucius. New York: Random House, Inc., 1938.
Legge, James. The Sacred Books of China: The Texts of Confucianism, Parts III-IV, The Li Ki Oxford: Oxford Clarendon.1885.
Wu Ch'eng-En. Xi You Ji (Journey to the West). New South Wales: Allen and Unwin. 1942.
Hai Yan. Lai Yan Bang (Nirvana in Fire, Chinese Edition). Sichuan: Sichuan Literature & Art Publishing House. 2014.
J.L.A. Brandes, Pararaton (Ken Arok) of het boek der Koningen van Tumapěl en van Majapahit. Uitgegeven en toegelicht. Batavia: Albrecht; 's Hage: Nijhoff. VBG 49.1. 1897.
Abdul Rakhim, dkk. Ki Ageng Selo Sang Penakluk Petir. Grobogan: Hanum Publisher. 2019.
Purwadi. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu. 2007.
Ahmad, Zainollah. Babad Modern Sumenep. Yogyakarta: Araska Publisher. 2018.
R. WerdisastroBhābhād Soengenep. Jakarta: Balai Pustaka. 1914. Ditulis dalam huruf Latin oleh R. Muh. Wadji Susastranegara (1971), diterjemahkan  ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Babad Sumenep” oleh Moh. Toha Hadi (1996).
Zhang Xiao Han. Bi Shang Guan. youtu.be/QGmBGq1l004
Glosbe. Ta'limum Muta'allim. id.glosbe.com/ar/id


Pustaka Elektronik
- id.wikipedia.org
- wikipedia.ord
- kidemang.com
- pcnusumenep.or.id
- wikimuslim.or.id
- bintangpusnas.perpusnas.go.id
- youtube.com

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Betul. Dengan memahami peristiwa sejarah dan bagaimana terhubung dengan masa kini, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang dunia di sekitar kita, dari peristiwa sosial, hukum, politik dan pendidikan sehingga jika akan membuat keputusan / kebijakan menjadi lebih tepat untuk masa depan.

    BalasHapus
Posting Komentar
1/related/default